Kamis, 19 Juli 2018

PERCEPATAN PERTUMBUHAN WILAYAH

PERCEPATAN PERTUMBUHAN WILAYAH
A.   WILAYAH DAN PEWILAYAHAN
Wilayah memiliki pengertian konseptual yang berbeda dengan pewilayahan. Apakah yang dimaksud dengan wilayah? Apakah yang dimaksud dengan pewilayahan? Berikut penjelasannya. 
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai wilayah dan pewilayahan.
1.     WILAYAH DAN PEWILAYAHAN
Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia.
Secara umum, wilayah dapat dibedakan atas:
• Wilayah Formal (uniform region/homogeneous)
Adalah suatu wilayah yang memiliki keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu, baik fisik maupun sosialnya. Contohnya, suatu wilayah dengan kesamaan bentang alam pegunungan disebut ‘wilayah pegunungan’, sementara wilayah yang mempunyai keseragaman dalam bidang kegiatan bercocok tanam disebut ‘wilayah pertanian’.

• 
Wilayah Fungsional (nodal region)
 Merupakan wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling berkaitan dan ditandai dengan adanya hubungan atau interaksi dengan wilayah di sekitarnya.
Suatu wilayah fungsional harus memenuhi syarat berikut:
a)      Adanya arus barang, ide/gagasan, dan manusia,
b)      Adanya node/pusat yang menjadi pusat pertemuan arus tersebut secara terorganisir,
c)      Adanya wilayah yang makin meluas, dan
d)      Adanya jaringan-jaringan rute tempat tukar-menukar berlangsung.
Contohnya, suatu industri didirikan pada suatu wilayah. Setiap pagi, karyawan berangkat menuju pabrik untuk bekerja. Adapun di sore hari, mereka akan pulang ke rumah masing-masing.
Adapun pewilayahan merupakan usaha untuk membagi permukaan bumi tertentu dengan tujuan tertentu pula. Ada beberapa bentuk pewilayahan yang lazim dilakukan, yakni:
1)      Pembuatan Region Uniform
•    Mengelompokkan tempat-tempat berdasarkan jenis obyek atau peristiwa yang diinginkan oleh individu atau lembaga.
•    Mengelompokkan jenis atau tipe-tipe yang sama dari obyek-obyek dan menarik garis batas yang memisahkan setiap zona.
2)   Pewilayahan Berdasarkan Fenomena Geografi
a)   Pewilayahan berdasarkan fenomena atsmofer, dibedakan atas:
• Pewilayahan iklim berdasarkan posisi matahari.
• Pewilayahan iklim berdasarkan ketinggian tempat.
b)   Pewilayahan berdasarkan fenomena litosfer, yaitu:
• Pewilayahan berdasarkan fenomena batuan.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena kemiringan lereng.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena tanah.
c)   Pewilayahan berdasarkan fenomena hidrosfer, yakni:
• Pewilayahan berdasarkan fenomena air permukaan.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena kedalaman air tanah.
d)      Pewilayahan berdasarkan fenomena biosfer, terdiri atas:
• Pewilayahan berdasarkan fenomena vegetasi.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena fauna.
e)      Pewilayahan berdasarkan fenomena antroposfer, misalnya:
• Pewilayahan berdasarkan fenomena administratif.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena kependudukan.
• Pewilayahan berdasarkan fenomena teknologi.
• Pewilayahan secara formal dan fungsional.
RANGKUMAN
1)      Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia.
2)      Pewilayahan merupakan usaha untuk membagi permukaan bumi tertentu dengan tujuan tertentu pula.

B.   KUTUB DAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH 

Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia. Apakah yang dimaksud dengan kutub dan pusat pertumbuhan wilayah? Berikut penjelasannya. 

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai kutub dan pusat pertumbuhan wilayah.
1. PENGERTIAN DAN TEORI PUSAT PERTUMBUHAN
Pusat pertumbuhan ialah kawasan yang mempunyai pertumbuhan sangat pesat di segala bidang sehingga dapat mempengaruhi kawasan sekelilingnya. Beberapa teori mengenai pusat pertumbuhan, antara lain:
 Teori Tempat Sentral (Walter Christaller) 
Berasumsi bahwa suatu lokasi pusat aktivitas yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan penduduk harus terletak pada suatu tempat yang sentral, yakni tempat yang memungkinkan aktivitas manusia menjadi maksimum.
 Teori Kutub Pertumbuhan (Francois Perroux)
Menyatakan bahwa kutub pertumbuhan merupakan fokus dalam wilayah ekonomi yang abstrak, memancarkan kekuatan sentrifugal dan sentripetal yang menarik.
 Teori Polarisasi (G. Myrdal)
Mengemukakan bahwa setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan, yang memiliki daya tarik terhadap tenaga buruh dari daerah pinggiran.
1.      PUSAT PERTUMBUHAN DI INDONESIA
Di masa lalu, pemerintah Indonesia pernah membagi wilayah Indonesia atas sejumlah pusat pertumbuhan, yakni:
a)      Wilayah I, mencakup Aceh dan Sumatera Utara, berpusat di Medan.
b)      Wilayah II, mencakup Sumatera Barat dan Kepulauan Riau, berpusat di Pekanbaru.
c)      Wilayah III, mencakup Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Bangka Belitung, berpusat di Palembang.
d)      Wilayah IV, mencakup Jakarta, Banten, Jawa Barat dan DIY, berpusat di Jakarta.
e)      Wilayah V, mencakup Kalimantan Barat, berpusat di Pontianak.
f)       Wilayah VI, mencakup Jawa Timur dan Bali berpusat di Surabaya.
g)      Wilayah VII, mencakup Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, berpusat di Balikpapan dan Samarinda.
h)      Wilayah VIII, mencakup Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, berpusat di Makassar.
i)        Wilayah IX, mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Gorontalo, berpusat di Manado.
j)        Wilayah X, mencakup Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua bagian barat, berpusat di Sorong.
Di Era Reformasi, pemerintah Indonesia merumuskan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi wilayah Indonesia atas sejumlah koridor atau pusat pertumbuhan ekonomi, yakni:
 Koridor Sumatera
Wilayah Pulau Sumatera berpotensi besar sebagai pusat pertumbuhan di kawasan sub-regional Asia Tenggara, Asia Pasifik, dan kawasan internasional lainnya. Selain itu, wilayah Pulau Sumatera memiliki akses perdagangan paling strategis dibanding pulau besar lain di Indonesia dengan sumber daya alam cukup lengkap, baik pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, maupun pertambangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembangunan Koridor Ekonomi Sumatera diarahkan sebagai ‘sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional’. Pengembangan Koridor Ekonomi Sumatera difokuskan pada beberapa kegiatan ekonomi utama, yaitu pengembangan kelapa sawit, karet, batubara, dan besi baja.
 Koridor Jawa
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Pulau Jawa tidak diimbangi dengan daya dukung sumber daya memadai. Namun, di sisi lain, wilayah Jawa memiliki infrastruktur yang cukup baik dan posisi sebagai pusat pemerintahan sehingga membuatnya tetap paling diminati untuk investasi. Oleh karena itu, pembangunan Koridor Ekonomi Jawa diarahkan sebagai ‘pendorong industri dan jasa nasional’.
 Koridor Kalimantan
Pulau Kalimantan merupakan pusat pembangunan di Indonesia Bagian Timur dan memiliki letak yang strategis hingga mendukung bagi kerjasama antar daerah. Wilayah Kalimantan juga memiliki ketersediaan sumber daya yang memadai baik dari sektor pertanian, pertambangan, maupun perikanan. Selain itu, wilayah Kalimantan mempunyai keunggulan kompetitif pada sektor-sektor pertambangan (minyak, gas, emas, batubara), kehutanan (kayu), perkebunan (sawit, karet), serta perikanan laut dan darat. Pembangunan Koridor Ekonomi Kalimantan diarahkan sebagai ‘pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional’.
 Koridor Sulawesi
Wilayah Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif pada sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete), perikanan laut (tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta pertambangan (nikel, aspal dan marmer). Berdasarkan berbagai potensi yang ada, maka pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi diarahkan sebagai ‘pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional’.
 Koridor Bali-Nusa Tenggara
Sebagai satu kesatuan wilayah, Bali-Nusa Tenggara sesungguhnya memiliki potensi pengembangan berbasis sumber daya alam, terutama peternakan, perikanan, dan pariwisata. Potensi sumber daya perikanan laut sangat besar dan masih belum dikelola secara optimal. Potensi sumber daya lahan, hutan, dan perkebunan juga cukup signifikan sehingga akan mendukung pengembangan ekonomi wilayah. Pembangunan Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara diarahkan sebagai ‘pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional’.
 Koridor Papua-Kepulauan Maluku
Potensi pengembangan wilayah Kepulauan Maluku adalah berbasis sumber daya alam, terutama perikanan dan wisata bahari. Sedangkan wilayah Papua memiliki peluang pengembangan pada sektor pertambangan, hutan, perikanan, perkebunan, dan wisata bahari. Berdasarkan berbagai potensi yang ada, maka pembangunan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku diarahkan sebagai ‘pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional’.

RANGKUMAN

1)      Pusat pertumbuhan ialah kawasan yang mempunyai pertumbuhan sangat pesat di segala bidang sehingga dapat mempengaruhi kawasan sekelilingnya.
2)      Pemerintah Indonesia merumuskan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi wilayah Indonesia atas sejumlah koridor atau pusat pertumbuhan ekonomi.

C.    PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN

Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara harmonis. Bagaimanakah hakikat pembangunan berkelanjutan dan implementasinya di Indonesia? Berikut penjelasannya. 
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai pertumbuhan wilayah berkelanjutan.
1.     HAKIKAT PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Istilah ‘pembangunan’, menurut Todaro (1998), pada hakikatnya, merupakan cerminan proses terjadinya perubahan sosial suatu masyarakat, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok sosial atau institusi yang ada di dalamnya untuk mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Sedangkan istilah pembangunan berkelanjutan atausustainable development (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987) adalah proses pembangunan yang mencakup tidak hanya wilayah (lahan, kota) tetapi juga semua unsur, bisnis, masyarakat, dan sebagainya yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan pemanfaatan lingkungan hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestarian lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan berkurang, atau bahkan lenyap.
Pembangunan berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya. Pembangunan berkelanjutan mempunyai ciri-ciri berikut:
• Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. 
• Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang tidak merusak lingkungan.
• Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang sama maupun kurun waktu berbeda secara berkesinambungan. 
• Meningkatkan serta melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok, melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan secara berkesinambungan. 
• Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang. 
Sementara itu, pengertian dan penerapan pembangunan wilayah pada umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik yang berhubungan dengan alokasi secara spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan. Menurut Cullis dan Jones (2004), pembangunan wilayah sangat tepat diimplementasikan dalam perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya publik (common and public resources), antara lain, sektor kehutanan, perikanan, atau pengelolaan wilayah. Dengan demikian, pembangunan wilayah tentu saja memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan pengelolaan beragam sumber daya tersebut, mengintensifkan pembinaan lingkungannya, atau pun yang terkait dengan masalah moral pelaksananya. Namun, untuk sebagian orang lain, konsep ‘pembangunan’ itu cenderung rumit, karena sumber daya bumi yang terbatas. Salah satu faktor yang harus dihadapi demi mencapai pembangunan wilayah berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.
2.     PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pembangunan merupakan upaya manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam dan lingkungan serta wilayahnya (Soetaryono, 1998).
Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara harmonis. Strategi pengelolaan sumberdaya wilayah dan ruang seharusnya mempertimbangkan aspek perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban, pemantauan dan pengawasan, pengaturan, pengendalian dan pelestarian. Pembangunan berkelanjutan di Indonesia diarahkan untuk terjaminnya: 
• Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability),
• Keberlanjutan ekonomi (economical sustainability),
• Keberlanjutan sumber daya dan lingkungan (resources and environment sustatainability), 
• Keberlanjutan sistem manajemen (management sustainability), serta
• Keberlanjutan teknologi (technological sustainability).
Kebijakan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional memberikan kewenangan luas bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan di wilayahnya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah daerah perlu lebih mengenal kondisi sumber daya baik biofisik, sosial ekonomi maupun sumber daya buatan di wilayahnya. Melalui pengenalan kondisi dan potensi wilayah, diharapkan terwujud komitmen bersama dari semua pihak terhadap penanganan sumber daya tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu, data dan informasi kondisi sumber daya di daerah perlu dilengkapi agar daerah dapat menyusun rencana dengan baik.
Daerah otonom dengan kewenangan yang diberikan sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjamin keberhasilan kinerja pembangunan di daerah. Sebagaimana dijelaskan oleh Kartodihardjo (1999), kinerja pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu sumber daya alam (natural capital), sumber daya manusia (human capital), sumber daya buatan manusia (man made capital), dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat (social capital).
Sayangnya, kesadaran dan pemahaman mengenai prinsip pembangunan wilayah berkelanjutan tampaknya belum dimiliki oleh sebagian besar pemimpin di daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah lebih memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal utama untuk membiayai pembangunan daerahnya. Upaya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target pendapatan asli daerah (PAD) disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan. Banyak pelaku pembangunan di daerah mengejar peningkatan PAD signifikan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi hingga akhirnya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah setempat (on-site effects) seperti longsor dan erosi tanah, melainkan juga di luar daerah setempat (off-site effects) seperti banjir dan sedimentasi. Fenomena degradasi lingkungan seperti banjir, erosi, longsor, sedimentasi di musim hujan, serta kekeringan dimusim kemarau bahkan sudah terjadi dengan frekuensi yang semakin sering dan intensitas yang semakin parah.

RANGKUMAN

1)      Pembangunan berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang mampu melestarikan lingkungan alamnya.
2)      Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat.

D.   KAJIAN DAYA DUKUNG UNTUK PERTUMBUHAN WILAYAH

Pertumbuhan dan pembangunan wilayah haruslah didukung oleh banyak faktor. Bagaimanakah kajian daya dukung untuk pertumbuhan wilayah? Berikut penjelasannya. 

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai kajian daya dukung untuk pertumbuhan wilayah.
1.      HAKIKAT DAYA DUKUNG WILAYAH
Daya dukung wilayah (carrying capacity) adalah daya tampung maksimum lingkungan untuk diberdayakan oleh manusia. Dengan kata lain, populasi yang dapat didukung dengan tak terbatas oleh suatu ekosistem tanpa merusak ekosistem itu. Daya dukung juga dapat didefinisikan sebagai tingkat maksimal hasil sumber daya terhadap beban maksimum yang dapat didukung dengan tak terbatas tanpa semakin merusak produktivitas wilayah tersebut sebagai bagian integritas fungsional ekosistem yang relevan. Fungsi beban manusia tidak hanya pada jumlah populasi, tetapi juga konsumsi per kapita serta lebih jauh lagi adalah faktor berkembangnya perdagangan dan industri secara cepat. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa adanya inovasi teknologi tidak meningkatkan daya dukung wilayah, namun berperan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam.
Analisis daya dukung (carrying capacity ratio) merupakan suatu alat perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan lahan, dan lingkungan. Dari semua hal tersebut, analisis daya dukung dapat memberikan informasi yang diperlukan dalam menilai tingkat kemampuan lahan dalam mendukung segala aktivitas manusia yang ada di wilayah bersangkutan.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisis daya dukung, secara umum, akan menyangkut masalah kemampuan (daya dukung) yang dimiliki oleh suatu daerah dalam mendukung proses pembangunan dan pengembangan daerah itu, dengan melihat perbandingan antara jumlah lahan yang dimiliki dan jumlah penduduk yang ada. Produktivitas lahan, komposisi penggunaan lahan, permintaan per kapita, dan harga produk agrikultur, semua dipertimbangkan untuk mempengaruhi daya dukung dan digunakan sebagai parameter masukan model tersebut.
Konsep yang digunakan untuk memahami ambang batas kritis daya dukung ini adalah adanya asumsi bahwa ada suatu jumlah populasi yang terbatas yang dapat didukung tanpa menurunkan derajat lingkungan yang alami sehingga ekosistem dapat terpelihara. Secara khusus, kemampuan daya dukung pada sektor pertanian diperoleh dari perbandingan antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Dengan demikian, data yang perlu diketahui adalah data luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per keluarga, potensi lahan yang tersedia, dan penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian.
Hasil analisis daya dukung dapat dipergunakan sebagai salah satu alat atau metode bagi perencana dalam membantu menentukan kebijakan yang akan ditetapkan terhadap suatu wilayah. Kebijakan yang akan ditetapkan tersebut akan sangat erat dengan berbagai implikasi yang melekat di dalamnya. Suatu wilayah yang akan dikembangkan potensinya harus dilihat kondisi empiris faktual terlebih dahulu. Berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan, apabila didasarkan pada analisa tersebut, adalah berupa kebijakan yang saling berkaitan:
• Kebijakan di bidang kependudukan, terutama upaya untuk menekan pertumbuhan penduduk. 
• Kebijakan di bidang budidaya pertanian, berupa intensifikasi lahan pertanian dengan tujuan meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ada. 
• Kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan, yaitu berupa pengendalian perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi non-pertanian.
• Kebijakan di bidang kerja sama regional dengan wilayah sekitar dan wilayah penghasil pangan sebagai alternatif penyedia sumber pangan.
2.   DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PEMBANGUNAN
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investor, salah satunya, tergantung dari kemampuan dan daya dukung wilayah yang dimiliki oleh daerah tersebut dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan bahwa persaingan yang semakin tajam menuntut pemerintah daerah menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menarik investasi, orang dan industri ke daerah. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi. Selain itu, kemampuan daerah untuk menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai alat ukur daya saing perekonomian daerah relatif terhadap daerah lainnya juga penting terkait dengan pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur fisik dalam upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan. Selanjutnya tentang pemeringkatan daya tarik investasi tahun 2003 terhadap 200 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat dari 5 (lima) faktor utama pembentuk daya tarik investasi di daerah yaitu faktor kelembagaan, faktor sosial politik, faktor ekonomi daerah, faktor tenaga kerja dan produktivitas serta faktor infrastruktur fisik (KPPOD, 2003).
Djojodipuro (1992) mengemukakan bahwa daya dukung wilayah untuk pembangunan industri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, factor endowment, pasar dan harga, bahan baku dan energi, aglomerasi (keterkaitan antar industri dan penghematan ekstern), serta biaya angkutan. Yang dimaksud dengan factor endowment adalah tersedianya faktor produksi secara kualitatif maupun kuantitatif di suatu daerah, seperti tanah, tenaga kerja dan modal. Makin banyak factor endowment yang dimiliki oleh suatu daerah makin tinggi daya dukung wilayah tersebut terhadap pengembangan industri.

RANGKUMAN

1)      Analisis daya dukung (carrying capacity ratio) merupakan suatu alat perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan lahan, dan lingkungan.
2)      Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investor, salah satunya, tergantung dari kemampuan dan daya dukung wilayah yang dimiliki oleh daerah tersebut dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

E.       SISTEM PERENCANAAN WILAYAH NASIONAL

Agar pembangunan dan pengembangan wilayah dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, tentunya diperlukan perencanaan yang matang dari lembaga atau pihak terkait. Bagaimanakah sistem perencanaan wilayah nasional? Berikut penjelasannya. 

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai sistem perencanaan wilayah nasional.
1.      PENGERTIAN DAN HAKIKAT PERENCANAAN WILAYAH
Menurut Chaprin (1990), perencanaan wilayah (regional planning) dapat dimaknai sebagai upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang, dalam konteks pengembangan wilayah, memiliki tiga tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral, dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Perencanaan dimaksudkan untuk mewujudkan pengembangan wilayah, yaitu upaya mendorong perkembangan wilayah melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, dan sosial.
Pendekatan perencanaan wilayah dapat dibedakan atas:
• Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Jenis perencanaan ini bertujuan untuk mencapai suatu tingkat perkembangan ekonomi tertentu suatu wilayah. Pada dasarnya, perencanaan berkaitan erat dengan struktur serta pertumbuhan dari ekonomi tingkat nasional. Perhatian utama pendekatan perencanaan adalah pada peningkatan kapasitas produksi dan perubahan neraca antar sektor. Oleh karenanya, perencanaan cenderung bersifat makro serta menghasilkan rencana komprehensif yang mencakup segala sector
• Perencanaan Fisik Wilayah
Bahasan perkembangan perencanaan fisik, pada umumnya, mengemukakan uraian hakekat manusia dalam kaitannya dengan lingkungan fisik. Pendapat klasik selalu mengasosiasikan pengertian perencanaan fisik dengan perencanaan kota atau lingkungan permukiman. Pendapat tadi dewasa ini disadari sebagai pendapat pengertian perencanaan dalam arti sempit. Hal tersebut mengingat bahwa perencanaan sebenamya menyangkut berbagai aspek kehidupan yang luas, meliputi segi sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam hal perencanaan fisik merupakan bagian dari usaha untuk menjawab perubahan-perubahan pada masyarakat yang aspeknya luas tersebut. 
Perencanaan fisik merupakan kegiatan perencanaan yang mencakup pengelolaan penggunaan lahan dan tata ruang. Kegiatan-kegiatan itu mencakup penyusunan rancangan rinci (misalnya lingkungan kota) sampai dengan penentuan umum penggunaan ruang suatu wilayah.
2.     PERENCANAAN WILAYAH DI INDONESIA
Perencanaan wilayah di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa periode berikut:
1)      Periode 1960-an
Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar membangun, perencanaan pembangunan yang diterapkan masih terbatas dan dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum mendapat perhatian serius. 
2)      Periode 1970-an
Perencanaan wilayah mulai dipandang sebagai solusi guna mempercepat pembangunan wilayah. Meski demikian, praktek yang dilakukan masih bersifat sektoral berdasarkan kepentingan sektor masing-masing. 
Sektor-sektor mulai menyusun kebijakan pengembangannya dalam rangka pengembangan wilayah, sebagai berikut: 
·         Sektor pertanian menerapkan pengembangan wilayah dengan menganut pembagian unit lahan berdasarkan kesesuaian lahan bagi kegiatan pertanian.
·         Sektor pertanahan menerapkan perencanaan tata guna tanah berdasarkan penilaian kondisi dan potensi lahan.
·         Sektor kehutanan memperkenalkan status/fungsi hutan melalui kriteria jenis tanah, kemiringan, dan curah hujan/iklim.
·         Sektor pariwisata mengembangkan kawasan wisata melalui penetapan Wilayah Tujuan Wisata (WTW) dan Daerah Tujuan Wisata (DTW).
·         Sektor transmigrasi menetapkan pewilayahan yang dikenal dengan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP), Satuan Kawasan Pemukiman (SKP) dan Satuan Pemukiman.
Praktek yang dilakukan setiap sektor pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan wilayah, sehingga produktivitas yang optimum dapat tercapai dan diasumsikan terjadi efek tetesan ke bawah (trickle down effects). 
3)      Periode 1980-an
Periode awal tahun 1980-an ditandai dengan perumusan Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS, 1982) yang masih menggunakan konsep kutub pertumbuhan (growth pole) dalam proses pembangunannya. Hal ini terlihat dari klasifikasi kota berdasarkan besaran penduduk menjadi metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil.
Pada periode 1980-an mulai dikenalkan konsep ‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development), ditandai pemberlakuan UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No. 32/1990 tentang Kriteria dan Pola Pengelolaan Kawasan Lindung, dan beberapa peraturan mengenai analisis dampak lingkungan. 
4)      Periode 1990-an
Kebijakan pembangunan nasional awal tahun 1990-an menekankan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, peningkatan desentralisasi, peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan, pengembangan kawasan strategis dan pembangunan berkelanjutan yang dilandasi Agenda-21 Rio de Janeiro. Kebijakan tersebut, antara lain, dilaksanakan melalui pemberlakuan PP No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. 
Pendekatan wilayah dalam perencanaan tata ruang wilayah mengalami pendalaman dan perluasan cakupan. Dalam prosesnya, penataan ruang melakukan tinjauan komprehensif tentang wilayah, seperti penduduk, sumber daya alam, sumber daya buatan, sosial, ekonomi, fisik, serta merumuskan tujuan, sasaran dan target pengembangan wilayah. Analisisnya menggunakan model dari berbagai disiplin ilmu. Hasil kegiatan dituangkan dalam spatial plan atau rencana tata ruang. Menurut undang-undang tersebut, penataan ruang adalah alat untuk menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan serta menjamin kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah. Dengan kata lain, penataan ruang adalah alat untuk menjamin pengentasan kemiskinan (berorientasi kepada masyarakat banyak) serta merupakan arahan kebijakan dan strategi spasial untuk keterpaduan program lintas sektor dan lintas wilayah. 
·      Pada periode ini dikenal hirarki Sistem Perencanaan Tata Ruang, yaitu: 
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional, disusun pemerintah pusat dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

·      Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi, disusun Pemerintah Provinsi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).
·      Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kabupaten/Kota) yang merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun Pmerintah Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota. 
·      Rencana-rencana rinci yang merupakan rencana detil dan teknis untuk kawasan-kawasan pada bagian wilayah kota atau kabupaten, sebagai implementasi dari perencanaan-perencanaan strategis tersebut. 
5)      Periode 2000-an
Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di era otonomi. Dalam paradigma baru ini, penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up approach) dan penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) disiapkan pemerintah daerah bersangkutan dengan mengikutsertakan masyarakat (public participation).

RANGKUMAN

1)      Perencanaan wilayah (regional planning) dapat dimaknai sebagai upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang, dalam konteks pengembangan wilayah, memiliki tiga tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral, dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.
2)      Perencanaan wilayah di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa periode dengan berbagai penyempurnaan pendekatan.

1 komentar: