PERCEPATAN
PERTUMBUHAN WILAYAH
A. WILAYAH DAN PEWILAYAHAN
Wilayah
memiliki pengertian konseptual yang berbeda dengan pewilayahan. Apakah yang
dimaksud dengan wilayah? Apakah yang dimaksud dengan pewilayahan? Berikut
penjelasannya.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah
mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu memahami mengenai wilayah dan
pewilayahan.
1. WILAYAH DAN PEWILAYAHAN
Wilayah adalah bagian daerah
tertentu di permukaan bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya
hubungan khusus antara kompleks lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia.
Secara umum, wilayah dapat
dibedakan atas:
• Wilayah Formal (uniform region/homogeneous)
Adalah suatu
wilayah yang memiliki keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu, baik
fisik maupun sosialnya. Contohnya, suatu wilayah dengan kesamaan bentang alam
pegunungan disebut ‘wilayah pegunungan’, sementara wilayah yang mempunyai
keseragaman dalam bidang kegiatan bercocok tanam disebut ‘wilayah pertanian’.
• Wilayah Fungsional (nodal region)
Merupakan
wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling
berkaitan dan ditandai dengan adanya hubungan atau interaksi dengan wilayah di
sekitarnya.
Suatu wilayah fungsional harus memenuhi syarat berikut:
Suatu wilayah fungsional harus memenuhi syarat berikut:
a)
Adanya arus barang, ide/gagasan,
dan manusia,
b)
Adanya node/pusat yang menjadi
pusat pertemuan arus tersebut secara terorganisir,
c)
Adanya wilayah yang makin
meluas, dan
d) Adanya jaringan-jaringan rute tempat tukar-menukar
berlangsung.
Contohnya, suatu industri didirikan pada suatu
wilayah. Setiap pagi, karyawan berangkat menuju pabrik untuk bekerja. Adapun di
sore hari, mereka akan pulang ke rumah masing-masing.
Adapun pewilayahan merupakan
usaha untuk membagi permukaan bumi tertentu dengan tujuan tertentu pula. Ada
beberapa bentuk pewilayahan yang lazim dilakukan, yakni:
1)
Pembuatan
Region Uniform
• Mengelompokkan
tempat-tempat berdasarkan jenis obyek atau peristiwa yang diinginkan oleh
individu atau lembaga.
• Mengelompokkan jenis atau tipe-tipe yang
sama dari obyek-obyek dan menarik garis batas yang memisahkan setiap zona.
2) Pewilayahan
Berdasarkan Fenomena Geografi
a) Pewilayahan berdasarkan fenomena atsmofer,
dibedakan atas:
• Pewilayahan iklim berdasarkan
posisi matahari.
• Pewilayahan
iklim berdasarkan ketinggian tempat.
b) Pewilayahan berdasarkan fenomena litosfer,
yaitu:
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena batuan.
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena kemiringan lereng.
• Pewilayahan
berdasarkan fenomena tanah.
c) Pewilayahan berdasarkan fenomena hidrosfer,
yakni:
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena air permukaan.
• Pewilayahan
berdasarkan fenomena kedalaman air tanah.
d) Pewilayahan berdasarkan fenomena biosfer, terdiri
atas:
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena vegetasi.
• Pewilayahan
berdasarkan fenomena fauna.
e) Pewilayahan berdasarkan fenomena antroposfer,
misalnya:
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena administratif.
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena kependudukan.
• Pewilayahan berdasarkan
fenomena teknologi.
• Pewilayahan secara formal dan fungsional.
RANGKUMAN
1) Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan
bumi yang mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus
antara kompleks lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia.
2)
Pewilayahan merupakan usaha
untuk membagi permukaan bumi tertentu dengan tujuan tertentu pula.
B. KUTUB DAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH
Wilayah adalah bagian daerah tertentu di permukaan bumi yang
mempunyai sifat khas sebagai akibat dari adanya hubungan khusus antara kompleks
lahan, air, udara, flora, fauna, dan manusia. Apakah yang dimaksud dengan kutub
dan pusat pertumbuhan wilayah? Berikut penjelasannya.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu
memahami mengenai kutub dan pusat pertumbuhan wilayah.
1.
PENGERTIAN DAN TEORI PUSAT PERTUMBUHAN
Pusat pertumbuhan ialah kawasan yang mempunyai pertumbuhan
sangat pesat di segala bidang sehingga dapat mempengaruhi kawasan
sekelilingnya. Beberapa teori mengenai pusat pertumbuhan, antara lain:
• Teori
Tempat Sentral (Walter Christaller)
Berasumsi bahwa suatu lokasi pusat aktivitas yang
senantiasa melayani berbagai kebutuhan penduduk harus terletak pada suatu
tempat yang sentral, yakni tempat yang memungkinkan aktivitas manusia menjadi
maksimum.
• Teori
Kutub Pertumbuhan (Francois Perroux)
Menyatakan bahwa kutub pertumbuhan merupakan fokus dalam
wilayah ekonomi yang abstrak, memancarkan kekuatan sentrifugal dan sentripetal
yang menarik.
• Teori
Polarisasi (G. Myrdal)
Mengemukakan bahwa setiap daerah mempunyai pusat
pertumbuhan, yang memiliki daya tarik terhadap tenaga buruh dari daerah
pinggiran.
1.
PUSAT
PERTUMBUHAN DI INDONESIA
Di
masa lalu, pemerintah Indonesia pernah membagi wilayah Indonesia atas sejumlah
pusat pertumbuhan, yakni:
a) Wilayah
I, mencakup Aceh dan Sumatera Utara, berpusat di Medan.
b) Wilayah
II, mencakup Sumatera Barat dan Kepulauan Riau, berpusat di Pekanbaru.
c)
Wilayah III, mencakup Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu
dan Bangka Belitung, berpusat di Palembang.
d)
Wilayah IV, mencakup Jakarta, Banten, Jawa Barat dan DIY,
berpusat di Jakarta.
e)
Wilayah V, mencakup Kalimantan Barat, berpusat di
Pontianak.
f)
Wilayah VI, mencakup Jawa Timur dan Bali berpusat di
Surabaya.
g)
Wilayah VII, mencakup Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur, berpusat di Balikpapan dan Samarinda.
h)
Wilayah VIII, mencakup Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, berpusat di Makassar.
i)
Wilayah IX, mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan
Gorontalo, berpusat di Manado.
j)
Wilayah X, mencakup Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua
bagian barat, berpusat di Sorong.
Di Era Reformasi, pemerintah Indonesia merumuskan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi wilayah Indonesia atas sejumlah koridor
atau pusat pertumbuhan ekonomi, yakni:
• Koridor Sumatera
Wilayah Pulau Sumatera berpotensi besar sebagai pusat
pertumbuhan di kawasan sub-regional Asia Tenggara, Asia Pasifik, dan kawasan
internasional lainnya. Selain itu, wilayah Pulau Sumatera memiliki akses
perdagangan paling strategis dibanding pulau besar lain di Indonesia dengan
sumber daya alam cukup lengkap, baik pertanian, perkebunan, perikanan,
kehutanan, maupun pertambangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembangunan
Koridor Ekonomi Sumatera diarahkan sebagai ‘sentra produksi dan pengolahan
hasil bumi dan lumbung energi nasional’. Pengembangan Koridor Ekonomi Sumatera
difokuskan pada beberapa kegiatan ekonomi utama, yaitu pengembangan kelapa
sawit, karet, batubara, dan besi baja.
• Koridor Jawa
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Pulau Jawa tidak
diimbangi dengan daya dukung sumber daya memadai. Namun, di sisi lain, wilayah
Jawa memiliki infrastruktur yang cukup baik dan posisi sebagai pusat
pemerintahan sehingga membuatnya tetap paling diminati untuk investasi. Oleh
karena itu, pembangunan Koridor Ekonomi Jawa diarahkan sebagai ‘pendorong
industri dan jasa nasional’.
• Koridor
Kalimantan
Pulau Kalimantan merupakan pusat pembangunan di Indonesia
Bagian Timur dan memiliki letak yang strategis hingga mendukung bagi kerjasama
antar daerah. Wilayah Kalimantan juga memiliki ketersediaan sumber daya yang
memadai baik dari sektor pertanian, pertambangan, maupun perikanan. Selain itu,
wilayah Kalimantan mempunyai keunggulan kompetitif pada sektor-sektor
pertambangan (minyak, gas, emas, batubara), kehutanan (kayu), perkebunan
(sawit, karet), serta perikanan laut dan darat. Pembangunan Koridor Ekonomi
Kalimantan diarahkan sebagai ‘pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan
lumbung energi nasional’.
• Koridor Sulawesi
Wilayah Pulau Sulawesi memiliki keunggulan kompetitif pada
sektor-sektor perkebunan (kakao, cengkeh, kopi, jambu mete), perikanan laut
(tuna dan cakalang), tanaman pangan (padi dan jagung), serta pertambangan
(nikel, aspal dan marmer). Berdasarkan berbagai potensi yang ada, maka
pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi diarahkan sebagai ‘pusat produksi dan
pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan
nasional’.
• Koridor Bali-Nusa Tenggara
Sebagai satu kesatuan wilayah, Bali-Nusa Tenggara
sesungguhnya memiliki potensi pengembangan berbasis sumber daya alam, terutama
peternakan, perikanan, dan pariwisata. Potensi sumber daya perikanan laut
sangat besar dan masih belum dikelola secara optimal. Potensi sumber daya
lahan, hutan, dan perkebunan juga cukup signifikan sehingga akan mendukung
pengembangan ekonomi wilayah. Pembangunan Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara
diarahkan sebagai ‘pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional’.
• Koridor Papua-Kepulauan Maluku
Potensi pengembangan wilayah Kepulauan Maluku adalah
berbasis sumber daya alam, terutama perikanan dan wisata bahari. Sedangkan
wilayah Papua memiliki peluang pengembangan pada sektor pertambangan, hutan,
perikanan, perkebunan, dan wisata bahari. Berdasarkan berbagai potensi yang
ada, maka pembangunan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku diarahkan sebagai
‘pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional’.
RANGKUMAN
1)
Pusat pertumbuhan ialah kawasan yang mempunyai pertumbuhan
sangat pesat di segala bidang sehingga dapat mempengaruhi kawasan sekelilingnya.
2) Pemerintah
Indonesia merumuskan Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membagi wilayah
Indonesia atas sejumlah koridor atau pusat pertumbuhan ekonomi.
C. PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan merupakan kebijakan pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara
harmonis. Bagaimanakah hakikat pembangunan berkelanjutan dan implementasinya di
Indonesia? Berikut penjelasannya.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu
memahami mengenai pertumbuhan wilayah berkelanjutan.
1.
HAKIKAT PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Istilah ‘pembangunan’, menurut Todaro (1998), pada hakikatnya,
merupakan cerminan proses terjadinya perubahan sosial suatu masyarakat, tanpa
mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok
sosial atau institusi yang ada di dalamnya untuk mencapai kondisi kehidupan
yang lebih baik. Sedangkan istilah pembangunan berkelanjutan atausustainable development (menurut Brundtland Report dari PBB, 1987) adalah proses
pembangunan yang mencakup tidak hanya wilayah (lahan, kota) tetapi juga semua
unsur, bisnis, masyarakat, dan sebagainya yang berprinsip "memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa
depan".
Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa harus
mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan
datang. Pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan pemanfaatan lingkungan
hidup dan kelestarian lingkungannya agar kualitas lingkungan tetap terjaga. Kelestarian
lingkungan yang tidak dijaga, akan menyebabkan daya dukung lingkungan
berkurang, atau bahkan lenyap.
Pembangunan berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang
mampu melestarikan lingkungan alamnya. Pembangunan berkelanjutan mempunyai
ciri-ciri berikut:
•
Memberi kemungkinan pada kelangsungan hidup dengan cara melestarikan fungsi dan
kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
•
Memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan teknologi yang tidak merusak lingkungan.
•
Memberikan kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya untuk berkembang
bersama-sama di setiap daerah, baik dalam kurun waktu yang sama maupun kurun
waktu berbeda secara berkesinambungan.
•
Meningkatkan serta melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok,
melindungi, serta mendukung sumber alam bagi kehidupan secara berkesinambungan.
• Menggunakan prosedur dan tata cara yang memerhatikan
kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan, baik masa
kini maupun masa yang akan datang.
Sementara itu, pengertian dan penerapan pembangunan wilayah pada umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik yang berhubungan dengan alokasi secara spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan. Menurut Cullis dan Jones (2004), pembangunan wilayah sangat tepat diimplementasikan dalam perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya publik (common and public resources), antara lain, sektor kehutanan, perikanan, atau pengelolaan wilayah. Dengan demikian, pembangunan wilayah tentu saja memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan pengelolaan beragam sumber daya tersebut, mengintensifkan pembinaan lingkungannya, atau pun yang terkait dengan masalah moral pelaksananya. Namun, untuk sebagian orang lain, konsep ‘pembangunan’ itu cenderung rumit, karena sumber daya bumi yang terbatas. Salah satu faktor yang harus dihadapi demi mencapai pembangunan wilayah berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.
Sementara itu, pengertian dan penerapan pembangunan wilayah pada umumnya dikaitkan dengan kebijakan ekonomi atau keputusan politik yang berhubungan dengan alokasi secara spasial dari kebijakan pembangunan nasional secara keseluruhan. Menurut Cullis dan Jones (2004), pembangunan wilayah sangat tepat diimplementasikan dalam perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya publik (common and public resources), antara lain, sektor kehutanan, perikanan, atau pengelolaan wilayah. Dengan demikian, pembangunan wilayah tentu saja memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan pengelolaan beragam sumber daya tersebut, mengintensifkan pembinaan lingkungannya, atau pun yang terkait dengan masalah moral pelaksananya. Namun, untuk sebagian orang lain, konsep ‘pembangunan’ itu cenderung rumit, karena sumber daya bumi yang terbatas. Salah satu faktor yang harus dihadapi demi mencapai pembangunan wilayah berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di wilayah tersebut.
2. PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Pembangunan wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur, memiliki tingkat kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari
waktu ke waktu. Pembangunan mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi
fisik wilayah, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang didukung
oleh perubahan dan penerapan teknologi, perubahan struktur perekonomian,
konsumsi dan sistem tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pembangunan
merupakan upaya manusia dalam mendayagunakan sumber daya alam dan lingkungan
serta wilayahnya (Soetaryono, 1998).
Pembangunan
berkelanjutan merupakan kebijakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan dan
aspirasi generasi sekarang maupun masa depan secara harmonis. Strategi
pengelolaan sumberdaya wilayah dan ruang seharusnya mempertimbangkan aspek
perencanaan, pemanfaatan, penataan dan penertiban, pemantauan dan pengawasan,
pengaturan, pengendalian dan pelestarian. Pembangunan berkelanjutan di
Indonesia diarahkan untuk terjaminnya:
•
Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability),
•
Keberlanjutan ekonomi (economical sustainability),
•
Keberlanjutan sumber daya dan lingkungan (resources and
environment sustatainability),
•
Keberlanjutan sistem manajemen (management
sustainability), serta
• Keberlanjutan teknologi (technological
sustainability).
Kebijakan otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU
No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional memberikan
kewenangan luas bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan
kegiatan pembangunan di wilayahnya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut,
pemerintah daerah perlu lebih mengenal kondisi sumber daya baik biofisik,
sosial ekonomi maupun sumber daya buatan di wilayahnya. Melalui pengenalan
kondisi dan potensi wilayah, diharapkan terwujud komitmen bersama dari semua
pihak terhadap penanganan sumber daya tersebut di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, data dan informasi kondisi sumber daya di daerah perlu dilengkapi
agar daerah dapat menyusun rencana dengan baik.
Daerah otonom dengan kewenangan yang diberikan sesungguhnya
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjamin keberhasilan kinerja
pembangunan di daerah. Sebagaimana dijelaskan oleh Kartodihardjo (1999),
kinerja pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu
sumber daya alam (natural capital), sumber
daya manusia (human capital), sumber daya buatan manusia (man made capital), dan kelembagaan formal maupun informal
masyarakat (social capital).
Sayangnya, kesadaran dan pemahaman mengenai prinsip pembangunan
wilayah berkelanjutan tampaknya belum dimiliki oleh sebagian besar pemimpin di
daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah lebih
memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal utama untuk
membiayai pembangunan daerahnya. Upaya eksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target pendapatan asli daerah
(PAD) disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan. Banyak pelaku pembangunan
di daerah mengejar peningkatan PAD signifikan sebagai indikator keberhasilan
pelaksanaan otonomi hingga akhirnya berdampak pada penurunan kualitas
lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah
setempat (on-site effects) seperti longsor dan erosi tanah, melainkan
juga di luar daerah setempat (off-site effects)
seperti banjir dan sedimentasi. Fenomena degradasi lingkungan seperti banjir,
erosi, longsor, sedimentasi di musim hujan, serta kekeringan dimusim kemarau
bahkan sudah terjadi dengan frekuensi yang semakin sering dan intensitas yang
semakin parah.
RANGKUMAN
1)
Pembangunan berkelanjutan harus mencerminkan tindakan yang
mampu melestarikan lingkungan alamnya.
2) Pembangunan
wilayah ditujukan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memiliki tingkat
kesejahteraan yang dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. Pembangunan
mempunyai makna suatu perubahan besar yang meliputi fisik wilayah, pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang didukung oleh perubahan dan penerapan
teknologi, perubahan struktur perekonomian, konsumsi dan sistem tata nilai
dalam kehidupan masyarakat.
D. KAJIAN DAYA DUKUNG UNTUK PERTUMBUHAN WILAYAH
Pertumbuhan dan pembangunan wilayah haruslah didukung oleh
banyak faktor. Bagaimanakah kajian daya dukung untuk pertumbuhan wilayah?
Berikut penjelasannya.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu
memahami mengenai kajian daya dukung untuk pertumbuhan wilayah.
1. HAKIKAT DAYA DUKUNG WILAYAH
Daya dukung wilayah (carrying capacity)
adalah daya tampung maksimum lingkungan untuk diberdayakan oleh manusia. Dengan
kata lain, populasi yang dapat didukung dengan tak terbatas oleh suatu
ekosistem tanpa merusak ekosistem itu. Daya dukung juga dapat didefinisikan
sebagai tingkat maksimal hasil sumber daya terhadap beban maksimum yang dapat
didukung dengan tak terbatas tanpa semakin merusak produktivitas wilayah
tersebut sebagai bagian integritas fungsional ekosistem yang relevan. Fungsi
beban manusia tidak hanya pada jumlah populasi, tetapi juga konsumsi per kapita
serta lebih jauh lagi adalah faktor berkembangnya perdagangan dan industri
secara cepat. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa adanya inovasi teknologi tidak
meningkatkan daya dukung wilayah, namun berperan dalam meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya alam.
Analisis daya dukung (carrying capacity
ratio) merupakan suatu alat perencanaan pembangunan yang memberikan
gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan lahan, dan lingkungan. Dari semua
hal tersebut, analisis daya dukung dapat memberikan informasi yang diperlukan
dalam menilai tingkat kemampuan lahan dalam mendukung segala aktivitas manusia
yang ada di wilayah bersangkutan.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisis daya dukung, secara
umum, akan menyangkut masalah kemampuan (daya dukung) yang dimiliki oleh suatu
daerah dalam mendukung proses pembangunan dan pengembangan daerah itu, dengan
melihat perbandingan antara jumlah lahan yang dimiliki dan jumlah penduduk yang
ada. Produktivitas lahan, komposisi penggunaan lahan, permintaan per kapita,
dan harga produk agrikultur, semua dipertimbangkan untuk mempengaruhi daya
dukung dan digunakan sebagai parameter masukan model tersebut.
Konsep yang digunakan untuk memahami ambang batas kritis daya
dukung ini adalah adanya asumsi bahwa ada suatu jumlah populasi yang terbatas
yang dapat didukung tanpa menurunkan derajat lingkungan yang alami sehingga
ekosistem dapat terpelihara. Secara khusus, kemampuan daya dukung pada sektor
pertanian diperoleh dari perbandingan antara lahan yang tersedia dan jumlah
petani. Dengan demikian, data yang perlu diketahui adalah data luas lahan
rata-rata yang dibutuhkan per keluarga, potensi lahan yang tersedia, dan
penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian.
Hasil analisis daya dukung dapat dipergunakan sebagai salah satu
alat atau metode bagi perencana dalam membantu menentukan kebijakan yang akan
ditetapkan terhadap suatu wilayah. Kebijakan yang akan ditetapkan tersebut akan
sangat erat dengan berbagai implikasi yang melekat di dalamnya. Suatu wilayah yang
akan dikembangkan potensinya harus dilihat kondisi empiris faktual terlebih
dahulu. Berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan, apabila didasarkan pada
analisa tersebut, adalah berupa kebijakan yang saling berkaitan:
•
Kebijakan di bidang kependudukan, terutama upaya untuk menekan pertumbuhan
penduduk.
•
Kebijakan di bidang budidaya pertanian, berupa intensifikasi lahan pertanian
dengan tujuan meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ada.
•
Kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan, yaitu berupa pengendalian
perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi non-pertanian.
• Kebijakan di bidang kerja sama regional dengan wilayah
sekitar dan wilayah penghasil pangan sebagai alternatif penyedia sumber pangan.
2.
DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PEMBANGUNAN
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya
terhadap investor, salah satunya, tergantung dari kemampuan dan daya dukung
wilayah yang dimiliki oleh daerah tersebut dalam merumuskan kebijakan yang
berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)
menjelaskan bahwa persaingan yang semakin tajam menuntut pemerintah daerah
menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menarik investasi, orang dan
industri ke daerah. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya
terhadap investasi tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan
yang berkaitan dengan investasi. Selain itu, kemampuan daerah untuk menentukan
faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai alat ukur daya saing perekonomian
daerah relatif terhadap daerah lainnya juga penting terkait dengan pengembangan
sumber daya manusia dan infrastruktur fisik dalam upaya meningkatkan daya
tariknya dan memenangkan persaingan. Selanjutnya tentang pemeringkatan daya
tarik investasi tahun 2003 terhadap 200 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat
dari 5 (lima) faktor utama pembentuk daya tarik investasi di daerah yaitu
faktor kelembagaan, faktor sosial politik, faktor ekonomi daerah, faktor tenaga
kerja dan produktivitas serta faktor infrastruktur fisik (KPPOD, 2003).
Djojodipuro (1992) mengemukakan bahwa daya dukung wilayah untuk
pembangunan industri dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, factor endowment,
pasar dan harga, bahan baku dan energi, aglomerasi (keterkaitan antar industri
dan penghematan ekstern), serta biaya angkutan. Yang dimaksud dengan factor endowment adalah tersedianya faktor produksi
secara kualitatif maupun kuantitatif di suatu daerah, seperti tanah, tenaga
kerja dan modal. Makin banyak factor endowment yang
dimiliki oleh suatu daerah makin tinggi daya dukung wilayah tersebut terhadap
pengembangan industri.
RANGKUMAN
1)
Analisis daya dukung (carrying capacity
ratio) merupakan suatu alat perencanaan pembangunan yang memberikan
gambaran hubungan antara penduduk, penggunaan lahan, dan lingkungan.
2)
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya
terhadap investor, salah satunya, tergantung dari kemampuan dan daya dukung
wilayah yang dimiliki oleh daerah tersebut dalam merumuskan kebijakan yang
berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat.
E.
SISTEM PERENCANAAN WILAYAH
NASIONAL
Agar pembangunan dan pengembangan wilayah dapat berlangsung
dengan efektif dan efisien, tentunya diperlukan perencanaan yang matang dari
lembaga atau pihak terkait. Bagaimanakah sistem perencanaan wilayah nasional?
Berikut penjelasannya.
TUJUAN
PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari bahasan ini, kalian diharapkan mampu
memahami mengenai sistem perencanaan wilayah nasional.
1. PENGERTIAN DAN HAKIKAT PERENCANAAN WILAYAH
Menurut
Chaprin (1990), perencanaan wilayah (regional planning)
dapat dimaknai sebagai upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang,
dalam konteks pengembangan wilayah, memiliki tiga tujuan pokok, yakni
meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral,
dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. Perencanaan
dimaksudkan untuk mewujudkan pengembangan wilayah, yaitu upaya mendorong perkembangan
wilayah melalui pendekatan komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, dan
sosial.
Pendekatan perencanaan wilayah dapat dibedakan atas:
•
Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Jenis perencanaan ini bertujuan untuk mencapai suatu
tingkat perkembangan ekonomi tertentu suatu wilayah. Pada dasarnya, perencanaan
berkaitan erat dengan struktur serta pertumbuhan dari ekonomi tingkat nasional.
Perhatian utama pendekatan perencanaan adalah pada peningkatan kapasitas
produksi dan perubahan neraca antar sektor. Oleh karenanya, perencanaan
cenderung bersifat makro serta menghasilkan rencana komprehensif yang mencakup
segala sector
•
Perencanaan Fisik Wilayah
Bahasan perkembangan perencanaan fisik, pada umumnya,
mengemukakan uraian hakekat manusia dalam kaitannya dengan lingkungan fisik.
Pendapat klasik selalu mengasosiasikan pengertian perencanaan fisik dengan
perencanaan kota atau lingkungan permukiman. Pendapat tadi dewasa ini disadari
sebagai pendapat pengertian perencanaan dalam arti sempit. Hal tersebut mengingat
bahwa perencanaan sebenamya menyangkut berbagai aspek kehidupan yang luas,
meliputi segi sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam hal perencanaan fisik
merupakan bagian dari usaha untuk menjawab perubahan-perubahan pada masyarakat
yang aspeknya luas tersebut.
Perencanaan fisik merupakan kegiatan perencanaan yang
mencakup pengelolaan penggunaan lahan dan tata ruang. Kegiatan-kegiatan itu
mencakup penyusunan rancangan rinci (misalnya lingkungan kota) sampai dengan
penentuan umum penggunaan ruang suatu wilayah.
2.
PERENCANAAN WILAYAH DI INDONESIA
Perencanaan
wilayah di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa periode berikut:
1) Periode
1960-an
Pada kurun waktu ini, pendekatan pembangunan yang
dilakukan masih bersifat parsial dan sektoral. Sebagai negara yang baru belajar
membangun, perencanaan pembangunan yang diterapkan masih terbatas dan
dipengaruhi pendekatan pembangunan masa sebelumnya. Titik berat pelaksanaan
pengembangan wilayah terfokus pada kawasan perkotaan, sedangkan perdesaan belum
mendapat perhatian serius.
2) Periode
1970-an
Perencanaan
wilayah mulai dipandang sebagai solusi guna mempercepat pembangunan wilayah.
Meski demikian, praktek yang dilakukan masih bersifat sektoral berdasarkan
kepentingan sektor masing-masing.
Sektor-sektor
mulai menyusun kebijakan pengembangannya dalam rangka pengembangan wilayah,
sebagai berikut:
·
Sektor pertanian menerapkan pengembangan wilayah dengan
menganut pembagian unit lahan berdasarkan kesesuaian lahan bagi kegiatan
pertanian.
·
Sektor pertanahan menerapkan perencanaan tata guna tanah
berdasarkan penilaian kondisi dan potensi lahan.
·
Sektor kehutanan memperkenalkan status/fungsi hutan
melalui kriteria jenis tanah, kemiringan, dan curah hujan/iklim.
·
Sektor pariwisata mengembangkan kawasan wisata melalui
penetapan Wilayah Tujuan Wisata (WTW) dan Daerah Tujuan Wisata (DTW).
·
Sektor transmigrasi menetapkan pewilayahan yang dikenal
dengan Wilayah Pengembangan Parsial (WPP), Satuan Kawasan Pemukiman (SKP) dan
Satuan Pemukiman.
Praktek yang dilakukan setiap sektor pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan wilayah, sehingga produktivitas yang optimum dapat tercapai dan diasumsikan terjadi efek tetesan ke bawah (trickle down effects).
Praktek yang dilakukan setiap sektor pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan optimasi penggunaan ruang dan wilayah, sehingga produktivitas yang optimum dapat tercapai dan diasumsikan terjadi efek tetesan ke bawah (trickle down effects).
3) Periode
1980-an
Periode awal tahun 1980-an ditandai dengan perumusan
Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (NUDS, 1982) yang masih menggunakan
konsep kutub pertumbuhan (growth pole)
dalam proses pembangunannya. Hal ini terlihat dari klasifikasi kota berdasarkan
besaran penduduk menjadi metropolitan, kota besar, kota sedang, dan kota kecil.
Pada periode 1980-an mulai dikenalkan konsep ‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development), ditandai pemberlakuan UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No. 32/1990 tentang Kriteria dan Pola Pengelolaan Kawasan Lindung, dan beberapa peraturan mengenai analisis dampak lingkungan.
Pada periode 1980-an mulai dikenalkan konsep ‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development), ditandai pemberlakuan UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No. 32/1990 tentang Kriteria dan Pola Pengelolaan Kawasan Lindung, dan beberapa peraturan mengenai analisis dampak lingkungan.
4) Periode
1990-an
Kebijakan pembangunan nasional awal tahun 1990-an
menekankan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, peningkatan desentralisasi,
peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan, pengembangan kawasan
strategis dan pembangunan berkelanjutan yang dilandasi Agenda-21 Rio de
Janeiro. Kebijakan tersebut, antara lain, dilaksanakan melalui pemberlakuan PP
No. 45/1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang.
Pendekatan wilayah dalam perencanaan tata ruang wilayah
mengalami pendalaman dan perluasan cakupan. Dalam prosesnya, penataan ruang
melakukan tinjauan komprehensif tentang wilayah, seperti penduduk, sumber daya
alam, sumber daya buatan, sosial, ekonomi, fisik, serta merumuskan tujuan,
sasaran dan target pengembangan wilayah. Analisisnya menggunakan model dari
berbagai disiplin ilmu. Hasil kegiatan dituangkan dalam spatial plan atau rencana tata ruang. Menurut
undang-undang tersebut, penataan ruang adalah alat untuk menciptakan
keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan serta menjamin
kegiatan ekonomi masyarakat dan wilayah. Dengan kata lain, penataan ruang
adalah alat untuk menjamin pengentasan kemiskinan (berorientasi kepada
masyarakat banyak) serta merupakan arahan kebijakan dan strategi spasial untuk
keterpaduan program lintas sektor dan lintas wilayah.
·
Pada periode ini dikenal hirarki Sistem Perencanaan Tata
Ruang, yaitu:
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional, disusun pemerintah pusat dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional, disusun pemerintah pusat dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).
·
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang merupakan
penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional
dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah provinsi, disusun
Pemerintah Provinsi dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda).
·
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW
Kabupaten/Kota) yang merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, disusun
Pmerintah Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota.
·
Rencana-rencana rinci yang merupakan rencana detil dan
teknis untuk kawasan-kawasan pada bagian wilayah kota atau kabupaten, sebagai
implementasi dari perencanaan-perencanaan strategis tersebut.
5) Periode
2000-an
Pendekatan wilayah telah mengalami penyesuaian dalam
penerapannya hingga terbentuk paradigma baru pengembangan wilayah/kawasan di
era otonomi. Dalam paradigma baru ini, penataan ruang lebih desentralistik (bottom-up approach) dan penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) disiapkan pemerintah daerah bersangkutan dengan mengikutsertakan
masyarakat (public participation).
RANGKUMAN
1)
Perencanaan wilayah (regional planning)
dapat dimaknai sebagai upaya intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang,
dalam konteks pengembangan wilayah, memiliki tiga tujuan pokok, yakni
meminimalkan konflik kepentingan antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral,
dan membawa kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.
2) Perencanaan
wilayah di Indonesia dapat diuraikan dalam beberapa periode dengan berbagai
penyempurnaan pendekatan.
IZIN COPY
BalasHapus